Senin, 11 Juni 2012

PERDULI AKAN SCENE MUSIK KOTA BOGOR.!!!

Tulisan ini tidak bertujuan untuk menyudutkan, menyalahkan, menilai/men-judge suatu individu atau suatu pihak. Tulisan ini hanya bertujuan untuk mengajak berpikir dan introspeksi kembali tentang keadaan scene music di 'Kota Hujan', agar tercapainya kembali suatu kondisi ideal. Penulis juga berpendapat dengan landasan asumsi-asumsi dari apa yang dilihat dan dirasakan. Tulisan ini adalah tulisan PRIBADI, tidak mewakili siapapun, isi dari tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab pribadi penulis.





Scene 'Kota Hujan' (punk/emo/metal/hardcore/etc) medio awal 2000-2007, adalah scene yang menurut saya ideal. Entah mengapa gig di jaman itu lebih menyenangkan, entah sebagai penonton atau sebagai pemain band yang tampil. 2 - 2 nya punya keasyikannya sendiri-sendiri. Saya pun dibilang sering juga tidak terlalu sering datang ke gigs, tapi sekalinya dateng, wuih, SERU! Jaman dimana tempatnya di Kemuning Gading Bogor, KNPI Pemda Kab.Bogor, Nirvana maharaja, atau acara fest yg benar-benar fest macam Goodfest II di Wizard taman ria. Line-up pun tidak sembarangan, sedikit tapi sangat berbobot. Ada acara launching distro kalau tidak salah, dengan lineup : 7 deadly sins, stepforward, seringai, perfect minors, dan KBB. Atau lineup goodfest seperti : straightout, straight answer, thinking straight, kuro, fall, KBB, nostoc. Saya yang menonton pun puas dan tidak merasa rugi sepeser pun membayar HTM 15-20 ribu. Perjalanan pulang pun masih membahas bersama teman2 seputar band-band yang tadi tampil.





Namun sekarang, scene medio 2012-sekarang mulai memasuki kondisi yang tidak ideal dan tidak sehat, setidaknya menurut saya. Scene di 'Kota Hujan' boleh saya katakan selayaknya 'zombie'. Berjalan tapi tak bernyawa. Hidup tapi mati.





Keadaan scene 'Kota Hujan'!



Kenapa saya berani mengatakan demikian? Saya gambarkan sedikit keadaan scene di 'Kota Hujan' tercinta. Setidaknya ada 3-4 titik di bilangan 'Kota Hujan' yang relatif tidak terlalu jauh, digunakan sebagai venue untuk gig setiap minggunya. Mari kita berhitung sedikit dengan beberapa asumsi.





Asumsi 1 : dalam satu minggu, hari jum'at, sabtu dan minggu selalu diadakan acara gig.



Asumsi 2 : dalam satu hari terdapat 3 acara di tiga tempat berbeda.



Asumsi 3 : dalam satu acara terdapat kurang lebih 30-40 band yang tampil





Jumlah band yang tampil per minggu : 3 hari x 3 tempat x 30-40 band = 270 - 360 band per minggu!





Tentu saja ada beberapa band yang bermain beberapa kali dalam seminggu, atau bahkan sehari. Itu sangat wajar, namun jumlah penampilan antara 270-360 band per minggu? Penonton mana yang tahan untuk melihat penampilan sebanyak itu? Jumlah band dalam satu acara kolektif mungkin tidak jauh dari jumlah band dalam satu hari acara-acara festival seperti bamboozle, warped tour, reading festival atau ozzfest. Dengan kuantitas seperti itu, wajar kalau acara/gig sepi penonton.





Membahas kuantitas berarti perlu juga membahas kualitas. Bagaimana dengan kualitasnya? Kira-kira begini keadaan umum acara-acara di 'Kota Hujan' : Rundown sekedar formalitas, sound system dengan ampli jebol dan cymbal retak yang dipangkas sampai setengah, venue yang sempit penuh asap rokok dan pendingin ruangan yang tidak terasa 'tiupan'-nya, band-band seumur jagung sudah bergaya bak rockstar internasional walau gitar & vokalisnya sama2 belum di-tune, penonton yang duduk-duduk saja karena sebenarnya mereka juga pemain band yang menunggu giliran tampil, publikasi dengan ejaan inggris yang salah (it's 'coming soon' not 'cooming soon' or 'comming soon') dan disain tulisan untuk poster menggunakan WordArt-nya Microsoft Word. Toilet? Yang jelas saya tidak akan pup di toilet yang disediakan.





Lalu bagaimana dengan penonton yang murni ingin menonton? Selain beberapa kondisi yang disebutkan sebelumnya, mental penonton pun banyak yang salah. Namun mereka tetap tidak bisa disalahkan. Lho kok begitu? Penonton biasanya hanya ingin menonton 1-2 band saja(mungkin band pacar/band teman). Sebelum atau setelah band tersebut tampil, penonton biasanya hanya 'nongkrong' di luar venue. Kenapa tidak menunggu di dalam saja? Bacalah kembali paragraf sebelumnya.





Tentu saja pemaparan diatas bukanlah gambaran 'seluruh' acara/gig di 'Kota Hujan', tetap ada juga acara yang tetap baik dari segi konsep dan penyelenggaraaannya. Namun pemaparan di atas adalah gambaran kondisi acara scene di 'Kota Hujan' pada umumnya.





Mengapa bisa begini?



Keadaan seperti yang saya sebutkan diatas dapat terjadi karena beberapa alasan. Membuat gig atau venue bisa dikategorikan mudah. Tanpa merendahkan kemampuan anak SMP, namun anak SMP pun sekarang bisa membuat gig. Cukup dengan banderol 3-5 juta rupiah kita sudah dapat membuat acara dengan kualitas 'seadanya'. Cara mudah untuk mendapatkan uang sebesar 3 juta? Inilah peran 'band kolektifan'. Cari saja 10-15 band baru di myspace, tanpa perlu mendengarkan materinya dan membaca profile-nya, comment/message band tersebut dengan pamflet-pamflet "need more collective band for @Rp. 150.000". Voila! 1.500.000-2.250.000 terkumpul. Untuk menutupi budget sisanya diharapkan dari ticketing, anggap 50 penonton membayar banderol Rp 15.000 maka anda akan mendapatkan 750.000 lagi.





Lalu mengapa banyak sekali band-band yang ingin sekali tampil hanya untuk 1-3 lagu sampai-sampai rela merogoh kocek 150.000? Pertanyaan ini justru belum bisa saya jawab. Yang jelas demand akan band yang ingin tampil masih banyak, sehingga pembuat acara pun tetap bisa 'menggunakan' mereka untuk menambal budget.





Perijinan juga relatif mudah karena sudah sepaket dengan venue. Mungkin 'keuntungan' inilah yang bisa membuat iri rekan-rekan kita yang berada di Bandung. Mereka mati-matian untuk mendapatkannya karena kekhawatiran berlebih pihak-pihak berwajib yang 'trauma'. Perbedaan yang memprihatinkan padahal jarak ke-2 kota ini tidak bisa dibilang jauh.





Solution!



Saya akan memaparkan solusi-solusi yang terlintas, entah bisa diwujudkan entah tidak. Entah etis, entah tidak.





-Jadilah band yang pintar!



Mengapa band masih mau ikut kolektifan? Kalau saya timbang-timbang lebih banyak rugi daripada untung. Nasib 'band kolektifan' kalau boleh dibilang sangatlah naas. Pertama mereka membayar dengan uang sendiri untuk tampil di suatu acara. Kedua, mereka bermain di awal dari jam 12an - 4an. Ketiga, belum tentu 'ada' penonton. Keempat, mereka mungkin hanya bisa memainkan 2-3 lagu saja, bahkan bila situasi benar-benar gawat bisa-bisa mereka hanya boleh memainkan 'satu lagu saja'.





Menurut saya pribadi daripada ikut kolektifan di suatu acara, lebih baik kumpulkan uang sedikit lagi untuk tracking di studio. Itu jauh lebih produktif dengan menghasilkan karya representatif bagi band tersebut. Daripada sekedar bermain 2-3 lagu yang ditonton segelintir panitia. Persiapkan materi matang-matang, buat rekaman dengan kualitas yang baik, sebarkan dulu ke teman/komunitas terdekat. Bila sambutannya saja sudah buruk, lebih baik ulang dari tahap 'Persiapkan materi matang-matang', dst.





-Venue Owner harus pelit!



Naikkan harga sewa! Terdengar ekstrim tapi pasti akan efektif untuk menekan jumlah acara. Saya rasa harga sewa akan berbanding terbalik dengan jumlah acara, namun berbanding lurus dengan kualitas venue. Contohnya, diharapkan bila harga sewa naik 2x lipat maka jumlah acara akan 2x lebih sedikit, tapi AC-nya 2x lebih dingin, toilet 2x lebih bersih, sound system 2x lebih bagus, dst.





-Pembuat acara menekan jumlah band yg tampil



Mohon pikirkan kembali konsep acara. Pikirkan kembali penonton, saya rasa tidak akan ada penonton yang betah dari jam 12 siang sampai jam 9 malam konstan menonton seluruh band yang tampil. Jangan sekedar menambah2kan band kolektif untuk menutupi uang sewa, pertimbangkan pula materi dan kualitas band-band yang tampil. Sound system juga jangan yang sekedarnya, paling tidak ampli gitar/bas tidak jebol, lalu cymbal utuh, posisi drum mudah untuk di setting, monitor terdengar jelas. Dengan begitu penonton serta band pasti sama-sama bisa bersenang-senang.





-(tidak) Tepuk tangan!



Untuk penonton, jadilah penonton yang jujur. Tepuk tangan kalau bagus, tidak usah tepuk tangan kalau 'tidak bagus'. Kenapa? Banyak band yang belum tau cara menyetem gitar dan vokalnya yang pas-pasan (baca: fales), diapreasiasi lebih dari yang seharusnya. Anggap saja saya sedikit iri, tapi itu tidaklah tepat. Diharapkan dengan tidak didukungnya band-band yang bermain 'tidak bagus' maka jumlahnya pun dapat ditekan. Tidak menutup kemungkinan band yang dulunya kurang bagus setelah di 'shock therapy', di kemudian hari menjadi sangat amat bagus. Who knows?





-Scene Watch Comitee (SWC)



Mungkin ini solusi paling ekstrim, paling gila, paling tidak etis, paling tidak bisa direalisasikan tapi mungkin paling efektif. Bangunlah sebuah organisasi pengawas scene dimana berisikan scenester2 per daerah, dimana mereka akan mengatur jadwal gig. Sehingga, dalam satu minggu, acara hanya akan ada 1-2. Dengan begini massa akan terkumpul & terpusat untuk suatu gig. Tentu saja tempat dan jumlah band juga diawasi sehingga penonton dapat bisa enjoy menikmati SELURUH RANGKAIAN ACARA. Akibatnya band tidak bisa tampil sering-sering, namun efek ke penonton bisa jadi baik. Penonton akan punya rasa penasaran bagaimana performance dari suatu band, sehingga punya efek sebagai 'Band yang ditunggu-tunggu'. Band yang tampil pun tidak akan itu-itu saja tiap minggu sehingga penonton tidak akan merasa bosan karena melihat band yang selalu beda.





Fiuh, i'm done with my points. Panjang banget ya? Syukur deh klo udah baca sampe sini Smoga tidak ada yg tersinggung, bila memang ada saya memohon maaf. Namun mari sejenak kita berpikir kembali, mari kita berdiskusi dengan kepala dingin. Mari kita berwacana dan berusaha untuk mengembalikan kondisi scene menjadi nyaman bagi band serta penonton..

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan ragu untuk membaca artikel yang saya buat ini.
Terima Kasih bila anda sudah mau membaca Artikel yang saya baca.
Silahkan tinggalkan komentar dan saran untuk lebih baik lagi blog yang saya buat.